
SMA Vokasi, Tren Pendidikan Menengah Masa Depan
SMA Vokasi, Tren Pendidikan
Menengah Masa Depan
Ternyata, penyumbang Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT), per Agustus 2021 adalah mereka yang berpendidikan
SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Besarnya 11,41% dari total pengangguran
terbuka di Indonesia. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan Tingkat
Pengangguran Terbuka yang berpendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas), yang
prosentasenya dikisaran 8,29% dari total 7,04 juta orang. Demikian berita
resmi statistik yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik) 6 November 2021
lalu.
Menariknya, secara makro,
infografis BPS memberi gambaran jelas bahwa tenaga kerja di Indonesia
didominasi lulusan SD, SMP lalu SMA. Khusus SMA, prosentasenya mencapai 17,46%
dari total tenaga kerja di Indonesia, per Agustus 2021. Riilnya sekitar
21,13 juta pekerja adalah lulusan SMA. Sedangkan tenaga kerja berlatar
pendidikan SMK malah hanya 10,40%, atau sekitar 12,59 juta orang.
Banyak asumsi yang bisa
muncul dengan laporan resmi BPS ini. Pertama, jumlah murid SMK yang
secara nasional memang lebih banyak dari jumlah murid SMA, otomatis
berpotensi menimbulkan pengangguran lebih banyak. Ini bertolak belakang dengan
konsep umum yang dipahami publik bahwa siswa SMK memang disiapkan untuk
memasuki dunia kerja. Artinya, lulus SMK ya bekerja. Kalau faktanya
banyak pengangguran, bisa jadi mereka masih harus "menunggu"
lapangan kerja yang sesuai dengan jurusannya belum tersedia di bursa
tenaga kerja. Nah, saat menunggu lapangan kerja yang link dan match
dengan jurusan mereka inilah mereka dinyatakan menganggur.
Kedua, secara konsep pula,
pendidikan SMA idealnya menyiapkan siswa (peserta didik) untuk melanjutkan
kependidikan tinggi.Tetapi faktanya, lulusan SMA malah mendominasi pasar tenaga
kerja dibanding lulusan SMK. Artinya, siswa yang nota bene tidak disiapkan
secara khusus untuk bekerja ini ternyata lebih diterima oleh pasar. Lulusan SMA
lebih fleksibel saat memasuki bursa lapangan kerja. Mereka lebih mudah terserap
ke berbagai sektor tenaga kerja. Anak-anak SMA lebih mudah di training untuk
menyesuaikan dengan bidang pekerjaan yang tersedia.
Data di lapangan makin menunjang
rilis dari BPS ini. Ada sekolah (swasta) yang lebih dari 50% lulusan tidak
melanjutkan, karena berbagai macam sebab. Ada yang berebut lowongan kerja di
dunia usaha dan industri. Ada yang menikah. Ada yang menganggur. Ada pula
pula diantara mereka yang berwirausaha secara mandiri.
SMA Vokasi
Melihat tren banyaknya lulusan
SMA memasuki dunia kerja, ke depan tren ini juga patut diwaspadai.
Sebenarnya sih bukan tren lagi, karena fakta ini muncul sudah sejak lama. Hanya
kadang tersamar dengan jargon : lulusan SMA seyogyanya melanjutkan ke
pendidikan tinggi. Padahal faktanya banyak yang belok kanan, yakni memasuki
dunia kerja. Jika kondisi ini tidak diantisipasi, bisa jadi suatu ketika,
lulusan SMA yang tanpa skills ini akan jadi penyumbang angka penggangguran yang
lebih banyak.
Nah, agaknya dalam beberapa tahun
terakhir, fakta ini sudah disikapi dengan bijak oleh pengelola pendidikan
menengah (SMA Swasta khususnya). Mereka sudah memasukkan materi-materi yang
berbasis penguatan skills (ketrampilan), pendidikan karakter dan kewirausahaan
di lembaga masing-masing secara mandiri. Tentunya sesuai dengan kondisi
masing-masing lembaga dan daya dukung yang ada. Maka tak heran ada sebutan
"SMA Life Skills" yang menyediakan aneka ketrampilan bagi peserta
didiknya. Mulai dari Tata Boga, Tata Rias, Tata Busana, Perhotelan,
Ketrampilan Pertanian, Perikanan dan sebagainya. Ada pula SMA yang
mengembangkan produk-produk berbasis industri kecil seperti
Pengolahan Hasil Pangan (Ayam Siap Saji, Aneka Kerupuk, Aneka Olahan Buah
Kering) dan sebagainya.
Lebih penting lagi adalah
menanamkan jiwa kewirausahaan pada peserta didik. Mereka mulai dikenalkan
dengan biaya produksi, pengolahan bahan, pengemasan, sampai pemasaran produk.
Tujuannya, kelak akan mampu membuka peluang kerja secara mandiri. Bahkan
sekarang lagi marak anak-anak usia SMA mengembangkan usaha Online Shopping (OlShop).
Bahkan ada yang berjaya sebagai Youtuber....
Bahkan beberapa lembaga SMA juga
mulai memberanikan diri untuk menitipkan siswa-siswinya di instansi
pemerintahan, instansi swasta dan dunia usaha dan industri untuk melakukan apa
yang disebut Magang (On The Job Training) dengan skala terbatas. Tapi sekali
lagi mereka adalah SMA bukan SMK. Maka saya menyebutnya trend ini sebagai
"SMA Vokasi".
Sungguh sangat menggembirakan
jika akhirnya inovasi pendidikan yang sedikit diuraikan di atas mulai diadopsi
oleh pengambil kebijakan. Mulai tahun 2021 ini, rencananya Dinas Pendidikan
Provinsi Kepulauan Riau merancang program DOUBLE TRACK. Nafas dan semangatnya
sama dengan SMA Vokasi. Memberikan dasar-dasar ketrampilan bagi siswa SMA
yang kemungkinan besar tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Tidak hanya di Kepri, Direktorat
Pendidikan Menengah Jakarta juga mulai mengembangkan sekolah-sekolah model
Kewirausahaan. Desainnya mungkin beda dengan sekolah vokasi, tapi nafas dan
semangatnya sepertinya tidak jauh berbeda. Mungkin sebagai perbandingan,
di Australia, program SMA Vokasi ini bisa merujuk pada Margareth River High
School, yang sudah sejak lama mengembangkan SMA Vokasi di lembaganya.
Sebagai muara dari kegiatan SMA
Vokasi, Double Track, SMA Kewirausahaan atau apapun istilahnya yang paling
penting adalah Uji Kompetensi. Tentunya Uji Kompetensi ini akan dilakukan oleh
pihak-pihak yang berwenang semacam Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) atau
Uji Kompetensi oleh DUDI. Ini merupakan tantangan bagi pengelola sekolah
berbasis vokasi agar kegiatan yang dilakukan di sekolah tidak asal jalan. Tapi
benar-benar memiliki arah dan tujuan akhir yang benar.
Siswa tidak saja mampu
melanjutkan ke pendidikan tinggi, tapi juga memiliki dasar-dasar ketrampilan,
etos kerja, serta Sertifikat Profesi. Hal ini tentunya tidak mudah. Tapi tetap
bisa diraih dengan daya upaya yang maksimal dan selalu istikomah.